Nama : Herdila Septiaruwina
Kelas : 1 EA 10
NPM : 14214930
"Lunturnya Tari Tradisional di Era Globalisasi"
PENDAHULUAN
Kata Tari di Indonesia usianya belum terlalu tua. Pada zaman
Penjajahan Belanda timbul kata dansa untuk menanamkan jenis tari hiburan
pribadi yang berasal dari Barat. Dalam bahasa Yunani kata tenein adalah kata
yang sering digunakan untuk meneyebut tari, sedangkan dalam bahasa Latin adalah
teneo.
Dalam penulisan kali ini saya akan mengambil tema “Budaya dan
Globalisasi”. Belakangan ini nilai-nilai Budaya di Indonesia mulai menurun dan
berubah akibat adanya globalisasi. Padahal Indonesia dikenal negara yang
memiliki beragam jenis budaya, tradisi, bahasa dan arsitektur. Salah satu
budaya Indonesia yang telah diabaikan adalah tari tradisional. Generasi muda
lebih memilih untuk berlatih tari modern seperti hip hop atau tari lainnya yang
berasal dari budaya luar. Judul yang saya ambil pada penulisan kali ini adalah
“Lunturnya Tari Tradisional di Era Globalisasi”
Sudah kita ketahui bahwa banyak
sekali definisi atau pengertian tari itu sendiri yang dijelaskan oleh beberapa
ahli. Banyak para pakar atau ahli yang menerangkan pengertian atau definisi
tari, salah satunya adalah Andre Levinson; “Tari adalah gerakan tubuh yang
berkesinambungan melewati ruang yang telah ditentukan sesuai dengan ritme
tertentu serta mekanisme yang sadar”. Sedangkan H’Doubler mengatakan bahwa
“Tari adalah ekspresi gerak ritmis dari keadaan-keadaan perasaan yang secara
estetis dinilai, yang lambang-lambang geraknya dengan sadar dirancang untuk
kenikmatan serta kepuasan dari pengalaman ulang, ungkapan, berkomunikasi,
melaksanakan, serta dari penciptaan bentuk-bentuk”.
Dari semua definisi tari yang
dijelaskan oleh para ahli tentang bentuk tari, baik yang berfungsi sebagai
sarana upacara, sebagai hiburan pribadi, maupun sebagai tontonan atau penyajian
estetis bisa tercakup semuanya. Hanya saja, definisi ini kadang-kadang menjadi
kurang jelas, karena bahkan orang yang berjalan, berbaris, menumbuk padi,
mendayung, memanjat pohon kelapa pun bisa dimasukkan dalam kategori tari,
karena gerak-gerak itu mengandung ritme tertentu. Padahal yang dimaksud dengan
tari bukanlah gerakan tubuh dalam kehidupan sehari-hari seperti yang dijelaskan
diatas.
Istilah koreografi dalam percaturan
dunia tari di Indonesia belum begitu tua dan juga belum sangat membudaya di
kalangan masyarakat. Kata Koreografi arti dari kata bahasa inggris
“Choreography”. Bahkan kata inipun belum terlau memasyarakat. Masyarakat
indonesia lebih sering menyebutnya penataan tari dan karya tari. Hal ini
membuktikan bahwa perkembangan tari di Indonesia belum bisa menempatkan tari
sebagai suatu bidang yang mantap, apalagi profesional dalam pengertian barat.
Bahkan belakangan ini istilah ekperimen bermunculan dimana-mana sehingga
munculnya sebutan berbagai macam tari. Namun, apabila kita cermati, sebenarnya
di wilayah Indonesia istilah yang sama dengan koreografi sudah lama
dipergunakan, mesikupun hanya terbatas yang menggunakannya.
Perlu kita perhatikan, bahwa
pengertia koreografi memiliki arti yang sedikit berubah dari arti aslinya.
Sekarang koreografi diartikan sebagai pengetahuan menata, menyusun, menciptakan
tari dan bisa berarti tatanan tari, susunan tari, bahkan bisa juga disebut
karya tari.
Pemakaian istilah-istilah barat
ternyata tidak sepenuhnya digunakan. Ternyata istilah modern dance apabila
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah tari modern kita tidak begitu
membudaya. Para koreografi Indonesia lebih suka menggunakan istilah karya baru
atau kreasi baru daripada tari modern. Padahal arti modern senfdiri adalah masa
kini yang juga memiliki pengertian yang meninggalkan peraturan-peraturan
tradisi. Maka sebenarnya istilah modern dance yang digunakan di kalangan tari
di Indonesia tidak bermasalah. Karena sebenarnya bidang-bidang seni yang
istilah modern sudah banyak dipergunakan. Di era globalisasi ini banyak berkembang
tari modern di kalangan anak muda di Indonesia. Banyak istilah tarian modern
yang bermunculan. Seperti “shuffle”. Shuffle merupakan salah satu tarian yang
menggerakkan kaki dan tubuhnya. Shuffle adalah tarian modern yang baru muncul.
Tarian ini biasanya di mainkan oleh anak pria.
Tari tradisional sendiri pada era
globalisasi semakin langka. Karena kurangnya keinginan masyarakat Indonesia
untuk mengembangkan tari tradisional. Mereka lebih memilih menggunakan tari
modern yang menurutnya itu lebih keren. Oleh sebab itu tari tradisional jarang
kita jumpai lagi.
PEMBAHASAN
Sebenarnya sangat sulit untuk membahas perkembangan tari
tradisional di Indonesia. Hal ini disebabkan tidak meratanya pengaruh budaya
besar dari luar. Selain itu dalam perkembangannya, kehadiran tari di sebuah
wilayah tertentu terjadi akibat suatu proses akumulasi selektif. Di beberapa
wilayah di Indonesia banyak bentuk tari dari masa prasejarah yang masih ada
bekas-bekasnya meskipun di wilayah tersebut terkena dampak atau pengaruh besar
dari budaya luar.
Perkembangan tari tradisional di Indonesia tidak seperti yang
terjadi di India, walaupun Indonesia pernah mendapat pengaruh yang cukup besar
dari luar. Meskipun para ahli kebudayaan menyatakan bahwa pengaruh kebudayaan
india ke Indonesia sudah berawal sejak terjadinya kontak antara India dan
Indonesia pada abad pertama tarikh masehi sampai runtuhnya kerajaan besar
Majapahit di Jawa pada akhir jawa ke 15
Sampai saat ini di beberapa daerah di indonesia, seperti Jawa
Tengah Bali dan Jawa Barat sisa-sisa pengaruh tari India masih ada. Tetapi
sisa-sisa itu terbatas pada berbagai kriteria-kriteria yang dibawakan dalam
drama tari.
Tari tradisional kerakyatan mempunyai sifat magis dan sakral,
mengutamakan ungkapan ekspresi jiwa mereka yang didominasi oleh kehendak dan
keyakinan, bahwa dengan imitasi gerak, mereka dapat mengundang roh nenek
moyang.
Dalam sebuah tari tradisional nilai estetis tari merupakan salah
satu faktor yang harus diperhatikan dalam perwujudan suatu karya tari. Nilai
estetis dalam tari dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu tujuan, fungsi, dan
latar belakang. Pertama nilai yang berhubungan dengan unsur dasar tari yaitu,
gerak, ruang, tenaga, ritme dan waktu.
Tari tradisional dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Jawa,
Bali, Sunda dan lainnya sudah jarang kita temui di berbagai pertunjukkan. Karena
adanya era globalisasi semua masyarakat Indonesia lebih memilih menunjukkan
aksinya melalui tari-tari modern. Oleh karena itu, pada tulisan ini saya akan
mengingatkan kembali beberapa tari tradisional dari berbagai daerah yang sudah
hampir musnah.
1.
Tari Bedhaya Ketawang
Bagi kerajaan-kerajaan di Jawa, tari adalah salah satu perangkat
untuk menunjukkan kebesaran raja, dan kedudukannya yang sama dengan pusaka.
Budaya semacam itu telah berlaku umum di Asia Tenggara yang mempraktikan konsep
kenegaraan yang mengacu kepada konsep India Devaraja. Di Jawa hal itu dinamakan
sebagai ratu gung binathara, artinya “raja besar yang didewakan”.
Hal pusaka berupa senjata, ada yang dianggap sangat sakral. Serta
ada yang kesakralannya tidak begitu besar. Demikian pula dengan Bedhaya. Tari
putri ini memiliki sakralitas yang berbeda, bedhaya ditarikan oleh sembilan
orang penari wanita dianggap lebih sakral. Selain itu, diantara bedhaya-bedhaya
yang hanya boleh dimiliki oleh istana Surakarta dan Yogyakarta, ada yang
dianggap sangat sakral. Yang dianggap paling sakral adalah Bedhaya Katawang.
Sedangkan di istana Yogyakarta adalah Bedhaya Semang.
Pertunjukkan tari Bedhaya Katawang telah mengalami transformasi
pada berbagai aspek, baik aspek mistis maupun aspek politik. Hanya bentuk serta
tatanan saja yang masih mengacu pada tradisi ritual masa lalu. Nilainya juga
sudah tergeser menjadi sebuah warisan budaya yang dianggap pantas untuk
dilestarikan. Tata busana pada waktu pertunjukkan sangat anggun. Sembilan
penari wanita tersebut berbusana seperti pengantin putri dengan rias wajah yang
megah serta memakai kain Dodot biru tua. Warna dasar dodot biru tua dan bagian
tengahnya berwarna putih ditebari oleh lambang binatang-binatang di hutan dan
warna sedikit emas. Gerak tarinya sangat lembut dengan tempo yang sangat
lambat.
Gamelan yang
mengiringi tari Bedhaya Ketawang yaitu gamelan yang diberi nama Kyai Kaduk
Manis dan Kyai Manis Rengga. Ada beberapa instrumen yang dimainkan, yaitu
Kemanak, Kethuk, Kenong, Kendhang Ageng, Kendhang Ketipung dan Gong Ageng.
Selain itu ada instrumen yang dianggap keramat. Yaitu, dua buah Kendang ageng
yang diberi nama Kanjeng Nyai Denok dan Kanjeng Kyai Iskandar.
Nyanyian para pesinden sangat penting pada pertunjukkan sangat
penting dibawakan pada saat penari sedang menari.
Dalam melaksanakan tugasnya, para penari Bedhaya Ketawang harus
dalam keadaan bersih spiritual. Mereka ketika menari tidak boleh dalam keadaan
haid atau datang bulan. Selain itu, beberapa hari sebelum pertunjukkan harus
berpuasa. Masing-masing penari memiliki nama sendiri dalam kompisisi Bedhaya
Ketawang, yaitu Endhel, pembatak, apit ngajeng, apit wingking, gulu, endhel
weton, apit meneng, dhadha dan buncit. Akan tetapi, dalam prosesi berjalan
beriringan urutannya adalah; endhel, pembatak, endhel weton, gulu, dhadha,
buncit, apit ngajeng, apit wingking, dan apit meneng.
Dari kesembilan penari itu, pemegang peranan penting dalam
pertunjukkan adalah pembatak dan endhel. Pada salah satu bagian pertunjukkan
kedua penari ini sangat penting perananannya dalam melakukan tari percintaan.
Bedhaya Ketawang memang menggambarkan percintaan antara raja dengan kanjeng
ratu Kencana Sari. Hanya saja segalanya diwujudkan secara abstrak, dan pelaku
penari emnggunakan teknik tari putri yang sangat halus dan berbusana kembar.
Tari Bedhaya Ketawang bertujuan untuk mereaktualisasi hubungan
cinta secara spiritual antara raja yang sedang memerintah dengan kanjeng ratu
kencana sari, kebanyakan sesaji ditempatkan diatas beberapa nampan berupa
busana serta alat-alat kecantikan bagi sang ratu.
1.
Tari
Wayang Topeng
Wayang Topeng adalah drama tari yang para penarinya mengenakan topeng
sesuai peranan yang dibawakan. Di Jawa mulai mengalami perkembangan yang cukup
baik, ketika kerajaan Jawa di Jawa Timur memudar kewibawaannya, dan pusat
kerajaan kembali ke Jawa Tengah dimulai dari kerajaan Demak. Wayang topeng
bersamaan dengan kehadiran Wayang Kulit yang membawa cerita Panji yang disebut
Wayang Gedhog.
Wayang topeng merupakan pertunjukkan yang sang di gemari oleh
rakyat maupun oleh kalangan istana. Seiring berjalannya waktu dan semakin
berkembangnya jaman, terutama pada era globalisasi ini di desa-desa di Jawa
Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur menjadi pertunjukan Wayang Topeng. Klaten di
Jawa Tengah merupakan wilayah yang masih tetap melestarikan pertunjukkan wayang
topeng dengan baik. Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur memiliki gaya
penampilan yang khas.
Busana bagian bawah para pemeran Wayang Topeng mirip dengan busana
bagian bawah Wayang Wong. Penari wayang topeng selain memakai topeng sesuai
dengan peranan yang dibawakan jug memakai penutup kepala yang disebut Tekes
yang mengacu pada penutup kepala yang terdapat pada boneka-boneka kulit dalam
Wayang Gedhog. Cerita yang ditampilkan pada pertunjukkan wayang topeng biasanya
cerita Panji.
Di daerah Klaten Jawa Tengah pertunjukkan wayang topeng selalu
dibawakan oleh para dalang wayang kulit beserta keluarganya, peristiwa ini
sangat menarik. Hanya saja karena topeng yang dikenakan oleh seorang penari
harus digigit oleh bagian dalamnya, maka mereka harus mengangkat sedikit
topengnya serta memegangnya selama mereka melakukan percakapan.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta pertunjukkan Wayang Topeng mengalami
perkembangan yang agak lain. Tradisi pertunjukkan wayang topeng dilakukan oleh
para dalang wayang kulit beserta kerabatnya terdapat di Yogyakarta. Perbedaan
topeng pada wayang topeng khas Surakarta dan khas Yogyakarta terletak pada cara
pemakaian topengnya. Topeng khas Surakarta digigit pada bagian dalam topeng,
sedangkan topeng Yogyakarta pemakaiannya dengan cara ditalikan mengelilingi
kepala. Di beberapa desa di Jawa Timur wayang topeng juga pernah berkembang
disana, bahkan sampai sekarang desa Jabung di wilayah Malang masih melestarikan
pertunjukkan rakyat tradisional ini. Sudah tentu meskipun masyarakat pendukung
wayang topeng di Jawa Timur masih bisa disebut masyarakat Jawa, mereka memiliki
ciri khas tersendiri yang khas dengan daerahnya. Maka tidak heran apabila
wayang topeng yang berasal dari jawa timur mempunyai ciri dan gaya tersendiri
yang disebut JawaTimuran.
Wayang Topeng Jawa Timur juga disebut dengan istilah Topeng
Dhalang, karena dalam pertunjukkannya peranan seorang dalang sangat penting
untuk menjalankan pertunjukkan tersebut sama seperti melaksanakan pertunjukkan
Wayang Kulit. Disisi lain di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta mempunyai
perbedaan, mereka tidak memerlukan dalang untuk mengatur jalannya cerita sebuah
pertunjukkan, tetapi dialog atau percakapannya diucapkan sendiri oleh
masing-masing penari.
1.
Tari
Baris Tunggal
Tari yang menampilkan gerak-gerak yang lugas atau kaku dan gagah
ini adalah tari kepahlawanan. Penari pria yang menggunakan busana yang
berlapis-lapis dengan tutup kepala berbentuk kerucut berhiaskan manik-manik
terbuat dari kerang laut, tari baris biasanya diiringi oleh gamelan gong. Gerak
yang terputus-putus, dipadukan dengan hentakan-hentakan kaki disertai pandangan
mata yang tajam, dan
gerakan yang gagah. Koreografi baris meliputi tiga bagian, yaitu
gilak papeson, bapang, dan gilak pakad. Bagian yang pertama dan terakhir
diiringi oleh gamelan bertempo cepat, sedangkan bagian kedua dengan tempo yang
relatif pelan. Tari Baris Tunggal sering dijumpai oleh pertunjukkan Gong
Kebyar, Topeng, atau Topeng Prembon.
1.
Tari
Joged
Tari Joged adalah tari pergaulan yang sangat digemari oleh
masyarakat hampir diseluruh pelosok Pulau Bali. Tarian ini, yang diiringi oleh
Tingklik, Barungan Gamelan terbuat dari bambu, mempunyai gerak-gerak erotis
yang dapat menarik orang untuk menonton. Koreografi tari Joged bebas dan
terbuka karena dibentuk oleh gerak-gerak yang secara spontanitas. Bagian yang
sangat terpenting dalam tari joged adalah menari bersama yang melibatkan
penonton pria. Tiga jenis
tari joged yang masih populer adalah Joged Pingitan, Joged
Gandrung, dan Joged Bumbung. Pertunjukkan joged bisa dijumpai hampir diseluruh
kabupaten di Bali.
Pagelaran Joged Pingitan biasanya meliputi dua tahap, yaitu
Paigelan dan Paibing-ibingan. Pada tahap pertama, seorang penari wanita yang
tampil secara solo, akan menampilkan kebolehannya dalam menari sambil
membawakan suatu lakon. Penari ini akan membawakan semua peran inti pada
masing-masing lakon. Dengan iringan gamelan rindik. Setelah menyelesaikan tahap
ini pertunjukkan akan dilanjutkan ke tahap kedua yaitu paibing-ibingan. Pada
tahap ini seoarang penari akan memilih penonton pria untuk diajak menari. Selama menari bersama-sama, oenari dan
penonton hanya dibolehkan mengadakan kontak lewat gerak tari.
1.
Tari
Pendet
Tari Pendet, adalah sebuah tari Kakebyaran yang dikembangkan dari
gerak-gerak tari upacara di pura, berfungsi sebagai tari penyambutan.
Menggambarkan perilaku atau tata krama sekelompok wanita yang dengan ramah tamah dan penuh rasa bahagia
menyambut kedatangan para tamu yang berkunjungan ke daerah mereka. Sesuai
dengan temanya, tari Pendet biasanya ditampilkan untuk mengawali suatu
pertunjukkan. Tari ini di tarik oleh empat sampai dengan enam wanita, masing-masing membawa setangkai bunga. Dan sekarang belum diketahui secara
pasti siapa pencipta tari yang muncul sekitar tahun 1960.
Beberapa koreografi Bali berhasil menciptakan
sejumlah tari penyambutan, yaitu tari Gabor yang dibawakan oleh empat sampai
enam penari wanita adalah ciptaan Gusti Gede Raka.
1.
Tari
Ronggeng Gunung
Tari Ronggeng Gunung adalah suatu jenis kesenian Ronggeng yang
hanya terdapat di kabupaten Ciamis dan berkembang di daerah pegunungan. Pada
mulanya ronggeng gunung berfungsi sebagai saran upacara yang kemudia berkembang
menjadi tarian hiburan dan pertunjukkan. Tarian ini disajikan antara lain pada
upacara meminta turun hujan, upacara pertama membajak sawah, upacara tanam padi
di sawah, upacara panen, dan upacara mapang sri.
Ronggeng disajikan sebagai tarian hiburan dalam perayaan hari-hari
besar masyarakat setempat atau atas prakarsa pemerintah daerah. Ciri khas
kesenian Ronggeng Gunung adalah, ronggeng atau penari wanita hanya terdiri dari
seorang yang menari juga berperan sebagai penyanyi, para penari laki-laki yang
diambil dari penonton selalu berkerudung kain sarung atau penabuh gamelan
adalah apara penonton yang secara spontan berpartisipasi memukul gamelan sesuai
dengan keinginan dan keahliannya masing-masing untuk mengiringi tarian.
Kesenian tarian Ronggeng Gunung terdiri dari satu buah kendang, tiga buah
kethuk, dan satu buah goong. Dengan demikian, peranan vocal penari ronggeng
sebagai melodi dalam kesenian yang sangat dominan.
1.
Tari
Cikeruhan
Tari cikeruhan bersumber dari rumpun tari rakyat yang disebut Ketuk
Tilu. Nama Cikeruhan berasal dari lagu pengiringnya. Terdapat beberapa lagu
pengiring maisng-masing mempunyai jiwa dan sifat tersendiri yang dapat dilhat
dari syair lagu serta pukulan dari kendang tersebut. Tari Cikeruhan di
masyarakat luas sering disebut Kethuk Tilu Cikeruhan.
Tari kethuk tilu yang berfungsi sebagai upacara ritual menyambut
panen padi sebagai rasa syukur kepada Dewi Sri. Akibat dari pergeseran nilai
akhirnya fungsi upacara berubah menjadi bentuk tontonan dan hiburan. Asal mula
nama Kethuk Tilu diambil dari salah satu alat pengiringnya, yaitu tiga buah
ketuk sebagai pemberi pola-pola irama diantara alat-alat tabuhan lainnya,
seperti rebab yang memainkan melodi, kendang indung dan kulanter yang
mempertunjukkan irama serta dinamika tarian, kecrek sebagai pengisi irama dan
gong sebagai pemberi batas-batas pada lagu.
Peran utama
dalam tarian ini adalah sejumlah ronggeng atau topeng yang akan manggung dan
menanti layan atau laki-laki. Pertunjukkan kethuk tilu berkembang di masyarakat
sebagai bentuk tari hiburan tidak ditarikan pada tempatv tertentu. Dimana ada
keramaian disitu lah mereka mengadakan pertunjukkan tanpa ada panggilan resmi.
Misalnya, diselenggarakan di pasar malam, kenduri, atau pesta.
Pada saat ini sudah jarang terdapat sanggar tari yang masih
mengajarkan dan melatih tari tradisional. Jika ada pun itu hanya beberapa di
beberapa daerah. Mengapa sanggar tari tradisional juga ikut musnah? Karena
generasi muda lebih memilih untuk sanggar atau berlatih di tari modern
dibandingkan dengan tari tradisional. Salah satu sanggar tari yang masih
berdiri dan banyak peminatnya adalah “Sanggar Tari Didik Nini Thowok”.
Didik Nini Thowok adalah seniman
tari ternama asal Temanggung dan mengawali karirnya di Yogyakarta. Sehingga
dapat berkembang hingga saat ini. Kecintaan Didik Nini Thowok pada kesenian
tari dimulai semenjak ia kecil. Terutama pada semua gerak tarian, diantaranya
gerak luwes, ayu dan anggun. Didik Nini Thowok lahir
dengan nama Didik Hadiprayitno, di Temanggung. Sudah melanglang buana ke
berbagai negara untuk menari. Selain sebagai penari profesional, Nini Thowok
pun menjadi pimpinan LPK Natya Lakshita (Lembaga Pendidikan Kejuruan) Tari. Bermukim
di Yogyakarta, Didik tidak berhenti berkreasi dengan terus menggali berbagai
potensi dan budaya dari berbagai negara. Perjalanan panjang lebih dari 20 tahun
sebagai penari, membawanya sampai menjadi seorang penari multi talenta
berkarakter unik. Seorang penari yang menguasai berbagai tarian dan
menyajikannya dengan nuansa komedi.
KESIMPULAN
Dari penulisan diatas dapat disumpulkan bahwa tari tradisional di
era globalisasi sudah mulai hilang di beberapa daerah tetapi hanya beberapa
masyarakat masih mengikuti tari tradisional. Kalau bukan kita yang
mengembangkan tari tradisional siapa lagi??
Bagaimana bisa anak cucu kita nanti mengenal tari-tari tradisional
kalau bukan kita yang memperkenalkan tari tradisional kepada mereka. Maka dari
itu kita harus bangga dengan tari tradisional yang begitu banyak macamnya.
Jangan terlalu berpengaruh dengan budaya luar sehingga kita melupakan budaya
kita sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Setyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan
Seni Pertunjukkan. Jakarta: Sinar Harapan
-----------------. 1996. Tarian
Indah, Tari Tradisional Indonesia. Jakarta: Yayasan Harapan Kita 3 TMII
R.M Soedarsono. 1992. Pengantar
Apresiasi Seni. Jakarta: Balai Pustaka
Kasmahidayat, Yuliawan.dkk. 2006. Seni
Budaya. Jakarta: Penerbit Grafindo