Rabu, 14 Januari 2015

Lunturnya Tari Tradisional di Era Globalisasi

Nama : Herdila Septiaruwina
Kelas : 1 EA 10
NPM : 14214930

"Lunturnya Tari Tradisional di Era Globalisasi"


PENDAHULUAN
Kata Tari di Indonesia usianya belum terlalu tua. Pada zaman Penjajahan Belanda timbul kata dansa untuk menanamkan jenis tari hiburan pribadi yang berasal dari Barat. Dalam bahasa Yunani kata tenein adalah kata yang sering digunakan untuk meneyebut tari, sedangkan dalam bahasa Latin adalah teneo.

Dalam penulisan kali ini saya akan mengambil tema “Budaya dan Globalisasi”. Belakangan ini nilai-nilai Budaya di Indonesia mulai menurun dan berubah akibat adanya globalisasi. Padahal Indonesia dikenal negara yang memiliki beragam jenis budaya, tradisi, bahasa dan arsitektur. Salah satu budaya Indonesia yang telah diabaikan adalah tari tradisional. Generasi muda lebih memilih untuk berlatih tari modern seperti hip hop atau tari lainnya yang berasal dari budaya luar. Judul yang saya ambil pada penulisan kali ini adalah “Lunturnya Tari Tradisional di Era Globalisasi”

            Sudah kita ketahui bahwa banyak sekali definisi atau pengertian tari itu sendiri yang dijelaskan oleh beberapa ahli. Banyak para pakar atau ahli yang menerangkan pengertian atau definisi tari, salah satunya adalah Andre Levinson; “Tari adalah gerakan tubuh yang berkesinambungan melewati ruang yang telah ditentukan sesuai dengan ritme tertentu serta mekanisme yang sadar”. Sedangkan H’Doubler mengatakan bahwa “Tari adalah ekspresi gerak ritmis dari keadaan-keadaan perasaan yang secara estetis dinilai, yang lambang-lambang geraknya dengan sadar dirancang untuk kenikmatan serta kepuasan dari pengalaman ulang, ungkapan, berkomunikasi, melaksanakan, serta dari penciptaan bentuk-bentuk”.
            Dari semua definisi tari yang dijelaskan oleh para ahli tentang bentuk tari, baik yang berfungsi sebagai sarana upacara, sebagai hiburan pribadi, maupun sebagai tontonan atau penyajian estetis bisa tercakup semuanya. Hanya saja, definisi ini kadang-kadang menjadi kurang jelas, karena bahkan orang yang berjalan, berbaris, menumbuk padi, mendayung, memanjat pohon kelapa pun bisa dimasukkan dalam kategori tari, karena gerak-gerak itu mengandung ritme tertentu. Padahal yang dimaksud dengan tari bukanlah gerakan tubuh dalam kehidupan sehari-hari seperti yang dijelaskan diatas.
            Istilah koreografi dalam percaturan dunia tari di Indonesia belum begitu tua dan juga belum sangat membudaya di kalangan masyarakat. Kata Koreografi arti dari kata bahasa inggris “Choreography”. Bahkan kata inipun belum terlau memasyarakat. Masyarakat indonesia lebih sering menyebutnya penataan tari dan karya tari. Hal ini membuktikan bahwa perkembangan tari di Indonesia belum bisa menempatkan tari sebagai suatu bidang yang mantap, apalagi profesional dalam pengertian barat. Bahkan belakangan ini istilah ekperimen bermunculan dimana-mana sehingga munculnya sebutan berbagai macam tari. Namun, apabila kita cermati, sebenarnya di wilayah Indonesia istilah yang sama dengan koreografi sudah lama dipergunakan, mesikupun hanya terbatas yang menggunakannya.


            Perlu kita perhatikan, bahwa pengertia koreografi memiliki arti yang sedikit berubah dari arti aslinya. Sekarang koreografi diartikan sebagai pengetahuan menata, menyusun, menciptakan tari dan bisa berarti tatanan tari, susunan tari, bahkan bisa juga disebut karya tari.
            Pemakaian istilah-istilah barat ternyata tidak sepenuhnya digunakan. Ternyata istilah modern dance apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah tari modern kita tidak begitu membudaya. Para koreografi Indonesia lebih suka menggunakan istilah karya baru atau kreasi baru daripada tari modern. Padahal arti modern senfdiri adalah masa kini yang juga memiliki pengertian yang meninggalkan peraturan-peraturan tradisi. Maka sebenarnya istilah modern dance yang digunakan di kalangan tari di Indonesia tidak bermasalah. Karena sebenarnya bidang-bidang seni yang istilah modern sudah banyak dipergunakan. Di era globalisasi ini banyak berkembang tari modern di kalangan anak muda di Indonesia. Banyak istilah tarian modern yang bermunculan. Seperti “shuffle”. Shuffle merupakan salah satu tarian yang menggerakkan kaki dan tubuhnya. Shuffle adalah tarian modern yang baru muncul. Tarian ini biasanya di mainkan oleh anak pria.
            Tari tradisional sendiri pada era globalisasi semakin langka. Karena kurangnya keinginan masyarakat Indonesia untuk mengembangkan tari tradisional. Mereka lebih memilih menggunakan tari modern yang menurutnya itu lebih keren. Oleh sebab itu tari tradisional jarang kita jumpai lagi.


PEMBAHASAN
Sebenarnya sangat sulit untuk membahas perkembangan tari tradisional di Indonesia. Hal ini disebabkan tidak meratanya pengaruh budaya besar dari luar. Selain itu dalam perkembangannya, kehadiran tari di sebuah wilayah tertentu terjadi akibat suatu proses akumulasi selektif. Di beberapa wilayah di Indonesia banyak bentuk tari dari masa prasejarah yang masih ada bekas-bekasnya meskipun di wilayah tersebut terkena dampak atau pengaruh besar dari budaya luar.
Perkembangan tari tradisional di Indonesia tidak seperti yang terjadi di India, walaupun Indonesia pernah mendapat pengaruh yang cukup besar dari luar. Meskipun para ahli kebudayaan menyatakan bahwa pengaruh kebudayaan india ke Indonesia sudah berawal sejak terjadinya kontak antara India dan Indonesia pada abad pertama tarikh masehi sampai runtuhnya kerajaan besar Majapahit di Jawa pada akhir jawa ke 15
Sampai saat ini di beberapa daerah di indonesia, seperti Jawa Tengah Bali dan Jawa Barat sisa-sisa pengaruh tari India masih ada. Tetapi sisa-sisa itu terbatas pada berbagai kriteria-kriteria yang dibawakan dalam drama tari.
Tari tradisional kerakyatan mempunyai sifat magis dan sakral, mengutamakan ungkapan ekspresi jiwa mereka yang didominasi oleh kehendak dan keyakinan, bahwa dengan imitasi gerak, mereka dapat mengundang roh nenek moyang.
Dalam sebuah tari tradisional nilai estetis tari merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam perwujudan suatu karya tari. Nilai estetis dalam tari dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu tujuan, fungsi, dan latar belakang. Pertama nilai yang berhubungan dengan unsur dasar tari yaitu, gerak, ruang, tenaga, ritme dan waktu.
Tari tradisional dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Jawa, Bali, Sunda dan lainnya sudah jarang kita temui di berbagai pertunjukkan. Karena adanya era globalisasi semua masyarakat Indonesia lebih memilih menunjukkan aksinya melalui tari-tari modern. Oleh karena itu, pada tulisan ini saya akan mengingatkan kembali beberapa tari tradisional dari berbagai daerah yang sudah hampir musnah.

1.      Tari  Bedhaya Ketawang
Bagi kerajaan-kerajaan di Jawa, tari adalah salah satu perangkat untuk menunjukkan kebesaran raja, dan kedudukannya yang sama dengan pusaka. Budaya semacam itu telah berlaku umum di Asia Tenggara yang mempraktikan konsep kenegaraan yang mengacu kepada konsep India Devaraja. Di Jawa hal itu dinamakan sebagai ratu gung binathara, artinya “raja besar yang didewakan”.



Hal pusaka berupa senjata, ada yang dianggap sangat sakral. Serta ada yang kesakralannya tidak begitu besar. Demikian pula dengan Bedhaya. Tari putri ini memiliki sakralitas yang berbeda, bedhaya ditarikan oleh sembilan orang penari wanita dianggap lebih sakral. Selain itu, diantara bedhaya-bedhaya yang hanya boleh dimiliki oleh istana Surakarta dan Yogyakarta, ada yang dianggap sangat sakral. Yang dianggap paling sakral adalah Bedhaya Katawang. Sedangkan di istana Yogyakarta adalah Bedhaya Semang.


Pertunjukkan tari Bedhaya Katawang telah mengalami transformasi pada berbagai aspek, baik aspek mistis maupun aspek politik. Hanya bentuk serta tatanan saja yang masih mengacu pada tradisi ritual masa lalu. Nilainya juga sudah tergeser menjadi sebuah warisan budaya yang dianggap pantas untuk dilestarikan. Tata busana pada waktu pertunjukkan sangat anggun. Sembilan penari wanita tersebut berbusana seperti pengantin putri dengan rias wajah yang megah serta memakai kain Dodot biru tua. Warna dasar dodot biru tua dan bagian tengahnya berwarna putih ditebari oleh lambang binatang-binatang di hutan dan warna sedikit emas. Gerak tarinya sangat lembut dengan tempo yang sangat lambat.

            Gamelan yang mengiringi tari Bedhaya Ketawang yaitu gamelan yang diberi nama Kyai Kaduk Manis dan Kyai Manis Rengga. Ada beberapa instrumen yang dimainkan, yaitu Kemanak, Kethuk, Kenong, Kendhang Ageng, Kendhang Ketipung dan Gong Ageng. Selain itu ada instrumen yang dianggap keramat. Yaitu, dua buah Kendang ageng yang diberi nama Kanjeng Nyai Denok dan Kanjeng Kyai Iskandar.

Nyanyian para pesinden sangat penting pada pertunjukkan sangat penting dibawakan pada saat penari sedang menari.

Dalam melaksanakan tugasnya, para penari Bedhaya Ketawang harus dalam keadaan bersih spiritual. Mereka ketika menari tidak boleh dalam keadaan haid atau datang bulan. Selain itu, beberapa hari sebelum pertunjukkan harus berpuasa. Masing-masing penari memiliki nama sendiri dalam kompisisi Bedhaya Ketawang, yaitu Endhel, pembatak, apit ngajeng, apit wingking, gulu, endhel weton, apit meneng, dhadha dan buncit. Akan tetapi, dalam prosesi berjalan beriringan urutannya adalah; endhel, pembatak, endhel weton, gulu, dhadha, buncit, apit ngajeng, apit wingking, dan apit meneng.

Dari kesembilan penari itu, pemegang peranan penting dalam pertunjukkan adalah pembatak dan endhel. Pada salah satu bagian pertunjukkan kedua penari ini sangat penting perananannya dalam melakukan tari percintaan. Bedhaya Ketawang memang menggambarkan percintaan antara raja dengan kanjeng ratu Kencana Sari. Hanya saja segalanya diwujudkan secara abstrak, dan pelaku penari emnggunakan teknik tari putri yang sangat halus dan berbusana kembar.

Tari Bedhaya Ketawang bertujuan untuk mereaktualisasi hubungan cinta secara spiritual antara raja yang sedang memerintah dengan kanjeng ratu kencana sari, kebanyakan sesaji ditempatkan diatas beberapa nampan berupa busana serta alat-alat kecantikan bagi sang ratu.

1.      Tari Wayang Topeng
Wayang Topeng adalah drama tari yang para penarinya mengenakan topeng sesuai peranan yang dibawakan. Di Jawa mulai mengalami perkembangan yang cukup baik, ketika kerajaan Jawa di Jawa Timur memudar kewibawaannya, dan pusat kerajaan kembali ke Jawa Tengah dimulai dari kerajaan Demak. Wayang topeng bersamaan dengan kehadiran Wayang Kulit yang membawa cerita Panji yang disebut Wayang Gedhog.

Wayang topeng merupakan pertunjukkan yang sang di gemari oleh rakyat maupun oleh kalangan istana. Seiring berjalannya waktu dan semakin berkembangnya jaman, terutama pada era globalisasi ini di desa-desa di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur menjadi pertunjukan Wayang Topeng. Klaten di Jawa Tengah merupakan wilayah yang masih tetap melestarikan pertunjukkan wayang topeng dengan baik. Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur memiliki gaya penampilan yang khas.


Busana bagian bawah para pemeran Wayang Topeng mirip dengan busana bagian bawah Wayang Wong. Penari wayang topeng selain memakai topeng sesuai dengan peranan yang dibawakan jug memakai penutup kepala yang disebut Tekes yang mengacu pada penutup kepala yang terdapat pada boneka-boneka kulit dalam Wayang Gedhog. Cerita yang ditampilkan pada pertunjukkan wayang topeng biasanya cerita Panji.

Di daerah Klaten Jawa Tengah pertunjukkan wayang topeng selalu dibawakan oleh para dalang wayang kulit beserta keluarganya, peristiwa ini sangat menarik. Hanya saja karena topeng yang dikenakan oleh seorang penari harus digigit oleh bagian dalamnya, maka mereka harus mengangkat sedikit topengnya serta memegangnya selama mereka melakukan percakapan.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta pertunjukkan Wayang Topeng mengalami perkembangan yang agak lain. Tradisi pertunjukkan wayang topeng dilakukan oleh para dalang wayang kulit beserta kerabatnya terdapat di Yogyakarta. Perbedaan topeng pada wayang topeng khas Surakarta dan khas Yogyakarta terletak pada cara pemakaian topengnya. Topeng khas Surakarta digigit pada bagian dalam topeng, sedangkan topeng Yogyakarta pemakaiannya dengan cara ditalikan mengelilingi kepala. Di beberapa desa di Jawa Timur wayang topeng juga pernah berkembang disana, bahkan sampai sekarang desa Jabung di wilayah Malang masih melestarikan pertunjukkan rakyat tradisional ini. Sudah tentu meskipun masyarakat pendukung wayang topeng di Jawa Timur masih bisa disebut masyarakat Jawa, mereka memiliki ciri khas tersendiri yang khas dengan daerahnya. Maka tidak heran apabila wayang topeng yang berasal dari jawa timur mempunyai ciri dan gaya tersendiri yang disebut JawaTimuran.
  
Wayang Topeng Jawa Timur juga disebut dengan istilah Topeng Dhalang, karena dalam pertunjukkannya peranan seorang dalang sangat penting untuk menjalankan pertunjukkan tersebut sama seperti melaksanakan pertunjukkan Wayang Kulit. Disisi lain di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta mempunyai perbedaan, mereka tidak memerlukan dalang untuk mengatur jalannya cerita sebuah pertunjukkan, tetapi dialog atau percakapannya diucapkan sendiri oleh masing-masing penari.

1.      Tari Baris Tunggal
Tari yang menampilkan gerak-gerak yang lugas atau kaku dan gagah ini adalah tari kepahlawanan. Penari pria yang menggunakan busana yang berlapis-lapis dengan tutup kepala berbentuk kerucut berhiaskan manik-manik terbuat dari kerang laut, tari baris biasanya diiringi oleh gamelan gong. Gerak yang terputus-putus, dipadukan dengan hentakan-hentakan kaki disertai pandangan mata yang tajam, dan
gerakan yang gagah. Koreografi baris meliputi tiga bagian, yaitu gilak papeson, bapang, dan gilak pakad. Bagian yang pertama dan terakhir diiringi oleh gamelan bertempo cepat, sedangkan bagian kedua dengan tempo yang relatif pelan. Tari Baris Tunggal sering dijumpai oleh pertunjukkan Gong Kebyar, Topeng, atau Topeng Prembon.


1.      Tari Joged
Tari Joged adalah tari pergaulan yang sangat digemari oleh masyarakat hampir diseluruh pelosok Pulau Bali. Tarian ini, yang diiringi oleh Tingklik, Barungan Gamelan terbuat dari bambu, mempunyai gerak-gerak erotis yang dapat menarik orang untuk menonton. Koreografi tari Joged bebas dan terbuka karena dibentuk oleh gerak-gerak yang secara spontanitas. Bagian yang sangat terpenting dalam tari joged adalah menari bersama yang melibatkan penonton pria. Tiga jenis

tari joged yang masih populer adalah Joged Pingitan, Joged Gandrung, dan Joged Bumbung. Pertunjukkan joged bisa dijumpai hampir diseluruh kabupaten di Bali. 

Pagelaran Joged Pingitan biasanya meliputi dua tahap, yaitu Paigelan dan Paibing-ibingan. Pada tahap pertama, seorang penari wanita yang tampil secara solo, akan menampilkan kebolehannya dalam menari sambil membawakan suatu lakon. Penari ini akan membawakan semua peran inti pada masing-masing lakon. Dengan iringan gamelan rindik. Setelah menyelesaikan tahap ini pertunjukkan akan dilanjutkan ke tahap kedua yaitu paibing-ibingan. Pada tahap ini seoarang penari akan memilih penonton pria untuk diajak menari.  Selama menari bersama-sama, oenari dan penonton hanya dibolehkan mengadakan kontak lewat gerak tari.

1.      Tari Pendet
Tari Pendet, adalah sebuah tari Kakebyaran yang dikembangkan dari gerak-gerak tari upacara di pura, berfungsi sebagai tari penyambutan. Menggambarkan perilaku atau tata krama sekelompok wanita yang  dengan ramah tamah dan penuh rasa bahagia menyambut kedatangan para tamu yang berkunjungan ke daerah mereka. Sesuai dengan temanya, tari Pendet biasanya ditampilkan untuk mengawali suatu pertunjukkan. Tari ini di tarik oleh empat sampai dengan enam wanita, masing-masing membawa setangkai bunga. Dan sekarang belum diketahui secara pasti siapa pencipta tari yang muncul sekitar tahun 1960. 



Beberapa koreografi Bali berhasil menciptakan sejumlah tari penyambutan, yaitu tari Gabor yang dibawakan oleh empat sampai enam penari wanita adalah ciptaan Gusti Gede Raka.

1.      Tari Ronggeng Gunung
Tari Ronggeng Gunung adalah suatu jenis kesenian Ronggeng yang hanya terdapat di kabupaten Ciamis dan berkembang di daerah pegunungan. Pada mulanya ronggeng gunung berfungsi sebagai saran upacara yang kemudia berkembang menjadi tarian hiburan dan pertunjukkan. Tarian ini disajikan antara lain pada upacara meminta turun hujan, upacara pertama membajak sawah, upacara tanam padi di sawah, upacara panen, dan upacara mapang sri. 

Ronggeng disajikan sebagai tarian hiburan dalam perayaan hari-hari besar masyarakat setempat atau atas prakarsa pemerintah daerah. Ciri khas kesenian Ronggeng Gunung adalah, ronggeng atau penari wanita hanya terdiri dari seorang yang menari juga berperan sebagai penyanyi, para penari laki-laki yang diambil dari penonton selalu berkerudung kain sarung atau penabuh gamelan adalah apara penonton yang secara spontan berpartisipasi memukul gamelan sesuai dengan keinginan dan keahliannya masing-masing untuk mengiringi tarian. Kesenian tarian Ronggeng Gunung terdiri dari satu buah kendang, tiga buah kethuk, dan satu buah goong. Dengan demikian, peranan vocal penari ronggeng sebagai melodi dalam kesenian yang sangat dominan.

1.      Tari Cikeruhan
Tari cikeruhan bersumber dari rumpun tari rakyat yang disebut Ketuk Tilu. Nama Cikeruhan berasal dari lagu pengiringnya. Terdapat beberapa lagu pengiring maisng-masing mempunyai jiwa dan sifat tersendiri yang dapat dilhat dari syair lagu serta pukulan dari kendang tersebut. Tari Cikeruhan di masyarakat luas sering disebut Kethuk Tilu Cikeruhan.

Tari kethuk tilu yang berfungsi sebagai upacara ritual menyambut panen padi sebagai rasa syukur kepada Dewi Sri. Akibat dari pergeseran nilai akhirnya fungsi upacara berubah menjadi bentuk tontonan dan hiburan. Asal mula nama Kethuk Tilu diambil dari salah satu alat pengiringnya, yaitu tiga buah ketuk sebagai pemberi pola-pola irama diantara alat-alat tabuhan lainnya, seperti rebab yang memainkan melodi, kendang indung dan kulanter yang mempertunjukkan irama serta dinamika tarian, kecrek sebagai pengisi irama dan gong sebagai pemberi batas-batas pada lagu.


Peran utama dalam tarian ini adalah sejumlah ronggeng atau topeng yang akan manggung dan menanti layan atau laki-laki. Pertunjukkan kethuk tilu berkembang di masyarakat sebagai bentuk tari hiburan tidak ditarikan pada tempatv tertentu. Dimana ada keramaian disitu lah mereka mengadakan pertunjukkan tanpa ada panggilan resmi. Misalnya, diselenggarakan di pasar malam, kenduri, atau pesta.

Pada saat ini sudah jarang terdapat sanggar tari yang masih mengajarkan dan melatih tari tradisional. Jika ada pun itu hanya beberapa di beberapa daerah. Mengapa sanggar tari tradisional juga ikut musnah? Karena generasi muda lebih memilih untuk sanggar atau berlatih di tari modern dibandingkan dengan tari tradisional. Salah satu sanggar tari yang masih berdiri dan banyak peminatnya adalah “Sanggar Tari Didik Nini Thowok”.
            Didik Nini Thowok adalah seniman tari ternama asal Temanggung dan mengawali karirnya di Yogyakarta. Sehingga dapat berkembang hingga saat ini. Kecintaan Didik Nini Thowok pada kesenian tari dimulai semenjak ia kecil. Terutama pada semua gerak tarian, diantaranya gerak luwes, ayu dan anggun. Didik Nini Thowok lahir dengan nama Didik Hadiprayitno, di Temanggung. Sudah melanglang buana ke berbagai negara untuk menari. Selain sebagai penari profesional, Nini Thowok pun menjadi pimpinan LPK Natya Lakshita (Lembaga Pendidikan Kejuruan) Tari. Bermukim di Yogyakarta, Didik tidak berhenti berkreasi dengan terus menggali berbagai potensi dan budaya dari berbagai negara. Perjalanan panjang lebih dari 20 tahun sebagai penari, membawanya sampai menjadi seorang penari multi talenta berkarakter unik. Seorang penari yang menguasai berbagai tarian dan menyajikannya dengan nuansa komedi.


KESIMPULAN

Dari penulisan diatas dapat disumpulkan bahwa tari tradisional di era globalisasi sudah mulai hilang di beberapa daerah tetapi hanya beberapa masyarakat masih mengikuti tari tradisional. Kalau bukan kita yang mengembangkan tari tradisional siapa lagi??

Bagaimana bisa anak cucu kita nanti mengenal tari-tari tradisional kalau bukan kita yang memperkenalkan tari tradisional kepada mereka. Maka dari itu kita harus bangga dengan tari tradisional yang begitu banyak macamnya. Jangan terlalu berpengaruh dengan budaya luar sehingga kita melupakan budaya kita sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Setyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukkan. Jakarta: Sinar Harapan
-----------------. 1996. Tarian Indah, Tari Tradisional Indonesia. Jakarta: Yayasan Harapan Kita 3 TMII
R.M Soedarsono. 1992. Pengantar Apresiasi Seni. Jakarta: Balai Pustaka
Kasmahidayat, Yuliawan.dkk. 2006. Seni Budaya. Jakarta: Penerbit Grafindo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar